Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

ZAMAN now, pepatah mulutmu harimaumu kian meluas. Bukan saja mulut yang bisa mencelakaan seseorang, melainkan juga jari, dan bahkan niat baik.

Apakah Kompol Sarce Christaty Leo Dima, Kapolsek Sukajadi, berniat baik atau buruk, saat dia mengirim makanan dan minuman ke asrama mahasiswa Papua di Kota Bandung, tentu nanti akan ditelisik Bidang Propam Polda Jawa Barat. Atau, apakah dia tahu yang dia kirim adalah minuman keras, biar pemeriksaan yang menentukannya.

Tapi, kini dia sudah menghadapi masalah bahkan jika itu dia lakukan dengan baik. Dia harus meninggalkan jabatannya sebagai Kapolsek Sukajadi setelah atasannya sempat membebastugaskannya.

Maka, kita lepaskanlah persoalan Komisaris Sarce itu. Dia hanya bisa jadi gambaran betapa dalam situasi kehidupan kita saat ini, banyak hal bisa menjadi pemicu persoalan di antara kita.

Yang paling banyak memicu tentu saja perbedaan-perbedaan pandangan politik. Sebab, politik itu penuh kepentingan. Karena kepentingan itu, yang hitam bisa jadi putih, yang putih pun mungkin saja jadi hitam.

Seorang pemimpin ingin berbuat sesuatu yang baik bagi keseluruhan masyarakatnya. Niat baik itu bisa jadi buruk bagi orang-orang yang afiliasi poltiknya tidak sama dengan pemimpin. Maka, yang muncul kemudian adalah mencari-cari kesalahan.

Fakta itu yang kita hadapi sehari-hari saat ini. Seorang pemimpin yang ingin mempercantik kotanya, tetap belum cukup karena kemudian dicari titik lemahnya umpamanya persoalan infrastruktur yang kurang baik. Begitu infrastruktur baik, kemudian disoal kualitas sumber daya manusia yang lemah. Padahal, jika pemimpin yang seafiliasi pandangan politik melakukan hal serupa, jutaan pujian akan didapatkan.

Sudah jelas, dari kelompok manapun, jika sudah menyangkut politik, banyak bagian bangsa ini bukanlah yang toleran. Kadang-kadang, yang intoleran itu justu adalah orang-orang yang paling kencang berteriak menentang intoleransi.

Sialnya, dalam kondisi seperti itu, satu-satunya yang bisa meredam adalah hukum yang adil dan tegas. Yang benar tetap benar, yang salah tetap salah. Sialnya, kita merasakan hukum kita limbung menghadapi kepentingan-kepentingan politik yang dianut para pelaku penindakan hukumnya. Dalam kondisi seperti itu, maka satu-satunya yang sebaiknya kita lakukan adalah ekstra hati-hati dalam melakukan apapun. (*)

Agustus 2019