Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Aneh bin ajaib. Tiba-tiba saja, Audisi Djarum Beasiswa Bulu Tangkis jadi persoalan. Nalar kita sudah kacau jika ada orang yang ingin memajukan olahraga, kemudian kita gagalkan.

Alasannya, eksploitasi anak. Kita hendak luruskan. Apa yang dilakukan penyelenggara bukan eksploitasi, melainkan eksplorasi. Eksplorasi kemampuan anak, khususnya dalam bermain bulu tangkis, satu-satunya cabang olahraga yang membuat Merah Putih berkibar di pentas internasional sekelas Olimpiade. Sekali lagi, bukan eksploitasi.

Apakah karena penyelenggaranya lembaga yang didukung sebuah perusahaan rokok, maka kemudian kita sebut eksploitasi? Catatlah: bahkan sebelum regulasi soal iklan rokok muncul, perusahaan ini sudah berbuat banyak untuk negeri ini, utamanya di olahraga. PB Djarum adalah gudang atlet bulutangkis terbaik kita. Salah satu sumbangsihnya, menelurkan pemain yang mampu merebut Piala Thomas.

Tidak hanya bulutangkis, klub yang didukung industri rokok ini, juga pernah membina atlet tenis meja. Pemilik perusahaannya penggemar bridge dan ikut menopang kemajuan olahraga itu.

Kalau hendak ditolak, kenapa juga hanya Audisi Djarum Bea Siswa Bulu Tangkis yang dipersoalkan? Djarum Foundation memiliki banyak rangkaian aktivitas sosial. Yang terkait dengan anak, misalnya, Bhakti Pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan dasar, menengah, SMK, bahkan hingga perguruan tinggi. Kenapa yang ini tidak ditolak? Tentang Djarum Beasiswa Bulu Tangkis, kita pertanyakan juga, jika dianggap mengeksploitasi anak, kenapa baru sekarang teringat menyoalnya? Mohon dicatat, kegiatan ini sudah digelar Djarum Foundation sejak 2006. Sudah 13 tahun. Sudah banyak pemain level nasional, internasional, dilahirkan. Mungkin perlu ditanya, apakah pemain-pemain tersebut mengalami eksploitasi? Aneh buat kita, jika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahkan juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, melihat persoalan ini dengan kacamata kuda. Tidak melihat secara komprehensif. Konyolnya lagi, Kementerian PPPA malah mengancam mengevaluasi predikat kabupaten/kota layak anak gara-gara jadi kota penyelenggara audisi.

Jika kemudian pihak-pihak yang menyoal itu curiga terhadap aktivitas sosial Djarum ini, tentu publik juga punya hak dan patut bercuriga, ada apa di balik ini? Sekadar soal yang tiba-tiba muncul, atau ada skenario besar di balik itu? (*)

Agustus 2019