Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

KONGRES PDI Perjuangan itu selalu ramai dalam peserta, tapi miskin dalam dinamika. Figur Megawati Soekarnoputri terlalu sentralistik pada partai berlambang banteng bermoncong putih itu.

Selalu pada setiap PDIP menggelar kongres, isu utamanya bukanlah siapa yang berpeluang menggantikan Megawati sebagai ketua umum partai. Isu utamanya justru apakah Megawati masih mau melanjutkan kepemimpinannya.

Bandingkanlah dengan apa yang terjadi di Partai Golkar saat ini. Bahkan saat kongres belum ditentukan kapan berlangsung, persaingan memperebutkan posisi ketua umum sudah sedemikian ramainya. Jauh lebih dinamis.

Tentu, ada plus-minusnya dengan sistem demokrasi mendekati demokrasi terpimpin yang dikembangkan PDIP. Mereka stabil, jarang sekali gunjang-ganjing. Yang gunjang-ganjing cukup di level DPP atau DPC, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat atau Surabaya.

Tapi, bukankah politik itu –menurut politikus—selalu dinamis? Dia sangat terbuka untuk segala perubahan. Yang lain-lain boleh berganti di PDIP, kecuali posisi ketua umum, setidaknya sampai saat ini.

Itu untungnya. Ruginya? Proses regenerasinya boleh dibilang mandeg. Jika sekali waktu, Megawati tak memiliki kemampuan secara fisik memimpin PDIP, siapa yang akan memimpin partai. Tak sedikit kader partai dengan kualitas personal yang bagus, tapi tampaknya akan tertutup oleh siapapun yang memiliki aliran darah Soekarno. Bahkan kader seperti Joko Widodo sekalipun.

Partai apapun, tentu berhak menentukan jalan masing-masing sesuai keinginan anggotanya. PDIP pun berhak menentukan jalan menjadi partai yang terkendala kemajuan demokratisasinya karena terlalu bertumpu pada trah Soekarno. Bukan partai modern, menurut para ahli.

Sejatinya, langkah terbaik PDIP adalah berjalan pada semangat dan pemikiran Soekarno, bukan bertumpu pada anak atau cucu tokoh nasionalis itu. Jika langkah itu yang diambil, maka PDIP tidak hanya akan mampu menjadi partai nasionalis seperti jalan pikiran Soekarno, tapi juga berkesempatan mendapatkan figur-figur hebat yang sudah terasah memimpin partai di kemudian hari.

Hanya saja, PDIP tampaknya takkan mengambil langkah-langkah tersebut. Salah satu indikasinya adalah wacana menempatkan salah satu di antara Puan Maharani dan Prananda Prabowo menduduki posisi ketua harian, sebagai pijakan jika sekali waktu Megawati harus berhenti. (*)

Agustus 2019