Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

RENCANA pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat mengundang kontroversi. Sebenarnya, apakah perlu memindahkannya keluar Kota Bandung? Jawabannya sebenarnya sederhana: apakah Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum mampu menuntaskan program dan janji politiknya. Jika saja program dan janji-janji itu bisa dituntaskan, kita meyakini Kota Bandung tidaklah segawat seperti yang kita bayangkan tentang Jakarta.

Salah satu program besar yang digadang-gadang Emil adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Cirebon-Subang-Majalengka (Rebana). Proyeksinya ini akan jadi KEK terbesar di Indonesia.

Tak hanya itu, Ridwan Kamil juga akan mengusulkan tujuh KEK lain, termasuk Rebana. Itu belum termasuk, misalnya, dengan keinginan Kabupaten Bogor mendirikan KEK Pariwisata Lido.

KEK tentu bukan kawasan biasa. Namanya juga kawasan khusus. Selain mungkin mendapatkan kemudahan perizinan, yang tak kalah penting tentu penyerapan tenaga kerja. Pemkab Bogor saja membayangkan KEK Lido akan menyerap 25 ribu tenaga kerja.

Jadi, jika semua KEK itu terwujud, bayangkan, betapa banyak tenaga kerja yang tertampung. Mereka takkan lagi menjadikan Kota Bandung sebagai destinasi idola mengubah nasib.

Banyak program lain Emil-Uu yang bisa setidaknya tak menambah beban Kota Bandung. Pengembangan destinasi wisata di setiap daerah, satu pesantren satu produk, dan sebagainya. Artinya, jika semua program kinclong-kinclong itu jalan, jangan-jangan orang Bandung yang akan meninggalkan Kota Kembang ke daerah-daerah. Persoalannya, yakin tidak Emil-Uu dengan realisasi programnya? Memindahkan ibu kota karena tingkat kemacetan, kantor yang tersebar, juga bisa diperdebatkan. Bukankah dengan teknologi informasi, semua kini menjadi dekat? Pemprov Jabar kini tak lagi banyak didatangi pelapor karena semua bisa dilakukan lewat online, aplikasi, dan sebagainya.

Bandung, misalnya, bisa lebih longgar dengan mendorong kampus-kampus lebih banyak ke Jatinangor. Bisa lebih longgar dengan mendorong perubahan kultur, bagaimana agar masyarakatnya lebih suka naik Trans Metro Bandung yang sekarang banyak kosong, atau penyediaan bus sekolah yang nyaman sehingga titik-titik kemacetan tak lagi terjadi di pintu sekolah-sekolah.

Tapi, semua tentu kita serahkan kepada tim kajian yang dibentuk untuk mempelajarinya. Buat kita, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat Kota Bandung tak sesumpek seperti Jakarta. Itu kalau mau. (*)

Agustus 2019