Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Apa yang terjadi di Kabupaten Garut memberi bukti bahwa gerakan moralitas harus menjadi urusan utama kita. Tak perlu malu-malu mengakui moralitas kita sedang menuju titik terendah sebelum kita sampai pada level terendah: masyarakat tanpa adab.

Dalam banyak hal, kita sepakat dengan pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut, KH Sirojul Munir, bahwa Garut sudah masuk darurat moral. Tapi tidak hanya di Garut sesungguhnya, penurunan moral terjadi di kabupaten/kota lainnya, bahkan di seantero negeri ini.

Kita seperti kebablasan memaknai kebebasan. Kita seolah-olah boleh berbuat sekehendak hati. Kita hanya takut pada hukum formal, tapi abai terhadap hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Kian hari, panutan kita hilang. Dia tidak patah satu tumbuh seribu, melainkan patah satu, habis semua.

Apa yang salah dengan diri kita? Apa karena pendidikan kita yang keliru? Pendidikan yang hanya peduli pada angka-angka, tapi abai soal makna? Padahal, makna moralitas itu demikian pentingnya di saat dunia sudah terbuka lebar dan masyarakat bebas memandang apa saja.

Ataukah ini masa pancaroba di tengah sistem kebebasan yang kita jalankan akhir-akhir ini? Kalau betul seperti itu, sampai kapan kita menghadapi persoalan seperti ini? Hemat kami, kita sedang berada dalam situasi yang harus memilih, tapi kita gamang menjatuhkan pilihan. Kita malu mengakui bahwa persoalan moral adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. Kita baru kaget ketika masalah-masalah moralitas datang silih berganti. Kita kaget ternyata sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan.

Apa yang harus kita lakukan? Cara sebaiknya adalah kembali kepada jatidiri kita sebagai bangsa Indonesia. Jatidiri kita bernama Pancasila itu yang –terbukti-- bisa menyelamatkan bangsa ini, termasuk anak cucunya.

Pancasila adalah obat dasar bagi setiap persoalan bangsa kita. Dia penyembuh segala penyakit bangsa, termasuk masalah moral. Dia tidak hanya memerintahkan melahirkan persatuan, menjauhkan intoleransi, tapi juga manusia yang beradab. Pancasila tidak untuk diteriak-teriakkan, melainkan dipahami dan dijalankan.

Pancasila dengan kelima dasarnya yang menjadi filosofi berbangsa itu yang semestinya kita jalankan dengan seksama, terutama menjadi dasar berpihak pemerintah yang kita percaya menakhodai negeri ini. Jika tidak, maka persoalan yang kita hadapi ke depan bukan hanya masalah ancaman persatuan, intoleransi, kesejahteraan bertama, tapi yang lebih berbahaya lagi adalah kita kehilangan adab. (*)

Agustus 2019