Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Status itu penting. Tak bisa dimain-mainkan. Karena status itulah titik awal, pijakan untuk mengambil kebijakan dan keputusan yang sah berikutnya.

Misalnya begini, sepasang laki-laki dan perempuan menjalin kehidupan bersama, perempuannya hamil dan kemudian melahirkan. Statusnya tak jelas. Tidak dalam ikatan perkawinan. Maka, anak yang dilahirkan itu pun punya status tak jelas. Dalam agama biasa disebut “anak haram”.

Atau, sukarelawan dengan hubungan yang tak jelas dalam sebuah kegiatan. Kerjaannya membantu sana-sini. Tak bisa menagih honor atau upah. Karena statusnya tak jelas.

Aparat kepolisian, ketika memutuskan menutup Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanparahu karena erupsi baru-baru ini, juga mendasarkan keputusan pada statusnya. Kalau statusnya normal, bagaimana polisi mau menutup? Status itu penting. Sangat-sangat penting. Sama pentingnya dengan segala aksi yang dilakukan terhadap peristiwa itu. Status menjadi dasar pijakan dalam mengambil kebijakan dan keputusan. Jika statusnya waspada, tentu tak boleh mengambil langkah awas.

Dalam konteks itulah, kita memahami BPBD mengusulkan penetapan status siaga kekeringan di Jawa Barat. Sebab, kondisinya memang sudah menuntut seperti itu. Agar penanganan bisa maksimal, maka langkah-langkah BPBD akan berada di relnya saat status dinaikkan jadi siaga. Sesederhana itu.

Bahwa seluruh masyarakat Jawa Barat, Pemprov Jawa Barat, seluruh pemangku kepentingan di Tanah Pasundan, sedang dalam sikap siaga menghadapi kekeringan, itu hal lain. Tak termasuk dalam tata kelola penanganan kebencanaan. Sebab, sebagai alat negara, BPBD bergerak dalam aturan-aturan, bukan dengan kebiasaan.

Patutkah Jabar menetapkan status siaga? Kita percaya BPBD memiliki alasan sendiri mengusulkannya kepada Gubernur Jawa Barat. Mereka yang lebih tahu.

Tapi, secara kasat mata, kalau kita lihat apa yang terjadi saat ini, rasa-rasanya sudah patut. Bayangkan, ada 20 kabupaten/kota yang sudah terdampak kekeringan. Hanya tujuh kabupaten/kota yang tidak. Wilayah Bogor yang nyaris tak pernah kekeringan, kini bahkan sudah masuk waspada. Setidaknya, dua dari lima variabel kebencanaan menurut PP No 21 Tahun 2008, yakni cakupan luas wilayah dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, sudah terjadi.

Jadi, perlukah status dalam bencana kekeringan yang kita hadapi saat ini? Ya jelas perlu. Agar jelas pijakan mereka dalam bertindak. Sehingga, langkah mereka tak melahirkan dosa dan kesalahan.

Agustus 2019