Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Hasil Pemilu 2019 tingkat provinsi Jawa Barat, mau tak mau, akan menguji kemampuan politik Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum lima tahun ke depan. Ibaratnya, kepala daerah Tanah Pasundan ini harus pintar-pintar meniti buih.

Dari kekuatan politik yang ada di DPRD Jabar lima tahun ke depan, dukungan yang dia dapatkan tidaklah signifikan. Itu mengingat partai politik pengusungnya pada Pilkada Jabar lalu hanya kebagian 19 kursi. Bahkan Hanura, salah satu di antaranya, bahkan gagal meraih satu kursi pun. Pertemuan Surya Paloh dan Anies Baswedan belum lama ini pun meninggalkan tanda tanya, apakah masih mendukung total Emil-Uu.

Emil-Uu memang pilihan masyarakat Jabar. Tapi, mereka berdua, tak bisa menafikan kekuatan politik rakyat yang direpresentasikan melalui DPRD. Kebetulan, kekuatan itu justru dimenangkan parpol pendukung pesaingnya.

Di kursi pimpinan saja, hanya PKB yang memiliki kursi. Nasdem, dan terutama PPP yang melorot, tak mendapatkan kursi pimpinan. Situasi bisa jadi kian rumit karena Emil termasuk kepala daerah yang terang-terangan menyatakan keberpihakannya pada Pemilihan Presiden lalu.

Apa yang akan dihadapi Emil-Uu mungkin tidak akan jauh seperti apa yang akhir-akhir ini dihadapi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Sulit menyatakan bahwa Anies mendapatkan dukungan sepenuhnya dari parlemen mengingat DPRD DKI Jakarta dikuasai parpol-parpol pengusung Ahok.

Bagi kita, situasi semacam ini tentu akan baik karena bisa memunculkan check and balances yang kuat. Itulah demokrasi yang sesungguhnya. Penguasa eksektutif mendapatkan pengawasan dari kekuatan rakyat melalui lembaga legislatif.

Tentu, kita berharap, situasi semacam itu jauh-jauh dihindarkan dari kepentingan politik yang sangat praktis. Kita mendukung jika misalnya muncul kritikan-kritikan yang masuk akal dan nalar, tidak berdasarkan tendensi yang keliru, apalagi jika dibalut dengan dendam masa lalu. Bahasa sederhananya, kritik yang dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat Jawa Barat.

Dalam konteks seperti itu, maka dalam pemerintahan daerah, Emil-Uu tak bisa lagi jadi “pemain tunggal”. Harus dengan seksama mempertimbangkan situasi yang berkembang di DPRD.

Perlu kemampuan politik, bahkan kesepahaman politik, agar pemerintahan berjalan dengan maksimal. Kemampuan seperti itu pernah ditunjukkan pendahulu Emil, Ahmad Heryawan. Dua periode memimpin Jabar, langkah Aher mendapat pengawalan dari DPRD yang didominasi bukan pendukung politiknya. Pertama saat DPRD dipimpin politisi Partai Demokrat, lalu PDI Perjuangan.

Aher mampu melangkah di atas titian buih tersebut sehingga roda pemerintahan praktis tak terganggu. Emil-Uu, rasa-rasanya patut juga belajar secara politik, bagaimana agar kebijakan dan keputusannya, tak terganjal di tataran Dewan. (*)

Agustus 2019