Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Entah bagaimana kondisi psikologisnya saat ini, Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini sering mempertontonkan pernyataan bernada ancaman. Dalam dua pekan terakhir, setidaknya dua kali Presiden melontarkan ancaman pencopotan.

Pertama pada Rakornas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, 6 Agustus lalu, Presiden menyatakan sudah meminta Panglima TNI dan Kapolda mencopot panglima kewilayahan TNI atau kepala kepolisian daerah jika tak becus mengatasi karhutla. Dua-tiga hari lalu, dalam wawancara dengan CNNIndonesia, Jokowi pun mengancam mencopot pejabat yang bandel dan lelet dalam perizinan. “Saya copot detik itu juga,” katanya.

Ancam-mengancam, dalam manajemen kenegaraan, tentulah tidak baik. Apalagi dengan rentang waktu yang berdekatan. Lama-lama, ancaman seperti itu, karena terlalu sering disampaikan, bisa membuat daya kejutnya tak ada lagi.

Yang perlu dilakukan Jokowi adalah lebih banyak bertindak ketimbang melontarkan ancaman seperti itu. Copot saja pejabat kewilyahan TNI atau Polri jika dinilai gagal mengatasi karhutla, copot saja pejabat yang lelet dalam urusan birokrasi perizinan.

Mungkinkah melakukan itu? Bisa saja. Sehari-dua setelah pidato Jokowi yang meminta Panglima TNI dan Kapolri mencopot pejabat kewilayahan yang gagal dalam penanganan karhutla, sebuah data terpapar dengan terang benderang. Di sejumlah daerah, utamanya di Kalimantan dan Sumatera, titik api (hotspot) bertambah. Di satu daerah, bahkan melonjak signifikan.

Faktanya, hampir dua minggu setelah perintah itu datang, tak ada tindakan apa-apa terhadap pejabat kewilayahan di mana titik api terus meningkat. Apakah pergantian Kapolda Kalimantan Tengah belum lama ini adalah bagian dari perintah tersebut? Yang pasti, tak ada alasan soal karhutla itu terang benderang terucap saat pelantikan Kapolda baru.

Pun dalam hal mencopot pejabat yang bandel atau lelet dalam urusan birokrasi, persoalannya tak sesederhana menyampaikan ancaman. Sejauh ini, regulasi perizinan yang berlapis-lapis belum bisa dipangkas sepenuhnya. Otonomi membuat daerah-daerah berhak mengeluarkan aturan perizinan yang tentunya menambah belitan urusan perizinan.

Bisa jadi, keleletan bukan terjadi pada pejabatnya, tapi tak ada sinkronisasi regulasi antara pusat dan daerah. Tak bisa pusat hanya melulu menyalahkan daerah karena daerah juga punya kepentingan khusus terhadap daerahnya.

Di atas semua itu, pernyataan ancam-mengancam pencopotan itu, tampaknya tak elok jika terus diumbar ke hadapan publik. Ancaman pencopotan itu bisa saja memberi kesan kepada publik tentang manajemen pemerintahan yang tak kokoh, apalagi kalau ancaman itu terlalu sering terucap dari mulut Presiden. (*)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberi pengarahan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla pada Selasa, 6 Agustus 2019 di Istana Negara, Jakarta Pusat. Rakornas ini diikuti oleh Gubernur dan Walikota, Kepala Kepolisian Daerah, hingga Pangdam di daerah-daerah rawa  kebakaran hutan.

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyesalkan titik panas tahun ini, yang meningkat dibandingkan tahun lalu. Ia pun mengingatkan kepada para peserta, bahwa aturan main dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Aturan yang saya sampaikan 2015 masih berlaku. Saya kemarin sudah telepon Panglima TNI, saya minta copot yang tidak bisa mengatasi. Saya telepon lagi, 3 atau 4 hari yang lalu kepada Kapolri, copot kalau nggak bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan," kata Jokowi saat memberi pengarahan.

Jokowi mengatakan dibanding 2015, jumlah titik panas di tahun ini memang jauh menurun. Kebakaran hutan dan lahan pada 2015 memang menjadi bencana besar bagi negara, yang membuat 2,6 juta hektare lahan terbakar dan negara merugi Rp 221 triliun.

Meski tahun ini jumlahnya menurun hingga 81 persen dari tahun 2015, namun Jokowi mengatakan jumlah hot spot 2019 meningkat jika dibanding tahun lalu. "Ini yang tidak boleh. Harusnya tiap tahun turun, turun, turun terus. Menghilangkan total memang sulit tetapi harus tekan turun," kata Jokowi.

Jokowi mengatakan hal ini akan terus ia Ingatkan, karena mungkin ada pejabat baru dilantik dan belum tahu aturan ini. Ia mengatakan tak mau bencana 2015 kembali terulang lagi. Karena itu, selain penanganan karhutla, pencegahan pun sama pentingnya. "Jangan meremehkan adanya hotspot. Jika api muncul langsung padamkan jangan tunggu sampai membesar," kata Jokowi.

Joko Widodo (Jokowi) kembali terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya lewat pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Pada periode keduanya ini, presiden ke-7 RI itu didampingi oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin.

Jokowi mengatakan dalam lima tahun ke depan, dirinya akan fokus mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, membuka investasi seluas-luasnya, serta penggunaan APBN yang fokus dan terukur.

Dalam pengembangan SDM, pria kelahiran Surakarta 58 tahun lalu itu menyebut bakal memperhatikan kesehatan anak-anak saat masih di dalam kandungan. Ia ingin gizi dan nutrisi terpenuhi sejak dini, sehingga ketika lahir mereka menjadi bayi yang super sehat.

Jokowi mengaku juga akan mengawal langsung reformasi birokrasi, terutama yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat dan perizinan. Bahkan, mantan gubernur DKI Jakarta itu tak segan mencopot pejabat yang masih bandel dan lelet dalam memberikan pelayanan.

"Akan saya ikuti, dan saya pastikan akan saya potong (birokrasi yang berbelit). Kalau pejabatnya masih bandel, masih lelet dalam memberikan pelayanan perizinan, betul-betul akan saya copot detik itu juga," kata Jokowi dalam wawancara khusus dengan CNNIndonesia TV, di Istana Merdeka, Kamis (15/8/2019).

Meskipun demikian, Jokowi mengatakan beban dirinya memimpin RI pada periode kedua semakin berat. Kondisi global, seperti geopolitik dan geoekonomi, adalah beberapa faktor yang ia anggap menjadi tekanan ketika ingin mengambil kebijakan.

Di sisi lain, Jokowi juga tak ingin bangsa Indonesia terpengaruh ideologi dari luar yang bertentangan denga Pancasila. Menurutnya, tak ada tempat bagi ideologi yang mengandung radikalisme dan intelorensi untuk berkembang di Bumi Pertiwi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut jumlah titik panas di Kalimantan Barat (Kalbar) naik drastis. Hotspot di kawasan ini bertambah 72 titik, dengan total 605 titik. 

Kenaikan ini berbeda jauh dengan penambahan titik api yang terjadi di sejumlah wilayah. Titik api di Kalimantan Tengah hanya bertambah empat titik dengan total 163 titik.

Sementara titik panas di Jambi bertambah satu dengan total tiga titik panas. Sumatera Selatan bertambah enam titik menjadi total 19 titik panas. Bangka Belitung bertambah 10 titik dengan total 14 titik panas.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supadio Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Senin (12/8) ini menyatakan terpantau sebanyak 1.124 hotspot atau titik panas yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Kalbar.

Kepala Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, Erika Mardiyanti di Sungai Raya, menyatakan titik panas tersebut berdasarkan pengolahan data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dari 11 hingga 12 Agustus 2019.

Agustus 2019