Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Presiden Joko Widodo sudah menunjuk dua kabupaten di Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru: Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Perpindahan ibu kota ini, tidak membuat kita juga bisa optimistis.

Karena apa? Dia, termasuk Kalimantan secara umum, adalah kawasan rebutan para pemilik modal, pejabat, atau mantan pejabat. Daerah ini kaya akan sumber daya alam karena itu orang berlomba mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.

Wajah buram Kaltim pernah digambarkan KPK. Ada temuan, di mana izin pertambangan yang diberikan pemerintah setempat, ternyata lebih luas dari wilayah Kaltim sendiri. Aneh bukan? Sejatinya tidak aneh juga. Itu berarti ada izin yang tumpang tindih. Izin yang tak karuan itu bisa terjadi karena terlalu banyak kepentingan di sana. Kepentingan yang ujungnya sama-sama kita pahami: fulus.

Kalimantan (Timur) itu wajah yang bopeng karena begitu banyak kawasannya yang menyisakan lubang-lubang tambang. Reklamasi tambang, rata-rata, hanyalah kewajiban omong kosong. Kewajiban yang ada di regulasi, tapi terabaikan. Tercatat puluhan anak-anak Tanah Borneo meregang nyawa di lubang tambang yang ditinggalkan pemilik modal itu.

Ke wilayah yang seperti itu, atau setidaknya dikelilingi tipikal wajah bopeng itulah, ibu kota akan dipindahkan. Pemerintah menyebut perlu anggaran mendekati Rp500 triliun untuk membangun infrastrukturnya. Baru infrastruktur, belum untuk memperbaiki wajahnya yang bopeng.

Rakyat Kalimantan Timur tentu saja berharap, kepindahan ibu kota ke sana akan mempercantik wajahnya. Tapi, butuh dana tak sedikit dan waktu yang lama. Tak gampang memperbaiki wajah bopeng itu, meski ke “salon kualitas internasional” sekalipun.

Tentu, publik juga akan menunggu komitmen dan pembuktian wajah ibu kota yang city forest itu di Kalimantan. Komitmen ini menjadi penting karena negeri ini tak punya apa yang disebut GBHN lagi. Pergantian kepemimpinan bisa saja akan membuat berganti pula haluan pembangunan negara. Maka, dalam titik ini, potensi ancaman terhadap Kalimantan pun cukup tinggi.

Katakanlah hingga lima tahun ke depan, Jokowi mampu mempertahankan komitmen itu. Siapa yang bisa menjamin, pemerintahan selanjutnya takkan membuat wajah Kalimantan Timur semakin bopeng? (*)

Agustus 2019