Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Kemiskinan adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat, bernegara. Tapi, tentu tak elok bermain-main dengan kalangan sahabat, saudara, yang masih di garis kemiskinan. Pemerintah pada tahun lalu melansir angka kemiskinan bisa ditekan. Untuk pertama kalinya, di bawah 10%, tepatnya 9,3%.

Itu data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mematok angka kemiskinan bagi mereka yang berpendapatan Rp401.220 sebulan. Keluarga (di Indonesia rata-rata 4,5 orang anggota) masuk kategori miskin bila berpendapatan Rp1,8 juta perbulan.

Itu dalam hitungan statistik. Dalam realitas kehidupan, banyak yang berpendapat, makin sulitnya hidup menambah angka kemiskinan. Tapi, BPS bergeming, menyebutkan angkanya berdasarkan hitungan ala Bank Dunia. Betulkah angka kemiskinan turun? Dari banyak faktor, bisa memunculkan banyak perdebatan. Salah satunya, jika kemiskinan menurun, kenapa misalnya anggaran bantuan sosial pemerintah tahun 2019 untuk program keluarga harapan naik dua kali lipat?

Dari Rp17 triliun tahun lalu jadi Rp34,3 triliun tahun ini? Beragam program masuk PKH ini, mulai dari sektor pendidikan hingga kesehatan. Sasarannya, tentu warga tak mampu. Warga miskin atau nyaris miskin. Menteri Keuangan Sri Mulyani intinya menyebutkan nilai bantuan PKH yang naik.

Kalaupun begitu, maka bisa pula disimpulkan, angka orang miskin dan nyaris miskin tak berkurang. Sebab, mereka yang menerima manfaat program ini juga tiada berkurang. Negeri ini memang lucu. Banyak yang protes saat dibilang hidup makin susah, tapi tidak protes ketika pemerintah menggelontorkan dana dua kali lipat untuk mengatasi kesusahan hidup warga miskin.

Banyak yang mengaku tak miskin, tapi berlomba-lomba dapat bantuan bagi warga miskin. Maka, menghitung kemiskinan dari data dan angka BPS hanyalah salah satu cara. Memastikan bahwa kemiskinan sungguhsungguh berkurang menggunakan rasa, hati, dan melihat kemampuan warga, justru jauh lebih penting.

Januari 2019