Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Sekali lagi, publik menyaksikan tontonan politik yang tak beretika. Jika elit politik berkelakuan seperti ini, bagaimana masyarakat akan percaya politik sebagai salah satu cara memperbaiki negeri ini?

Aksi yang dilakukan Nasrudin Azis di Cirebon, sungguh melukai etika itu. Bukan karena dia memilih mendukung capres A atau B, tapi caranya sungguh tak elok. Jika pikiran politik warga biasa saja terusik, apalagi partai politik yang jadi kendaraannya selama ini.

Azis berdalih bahwa dukungannya kepada calon A sebagai pilihan personalnya. Sampai di situ, tak ada yang keliru. Semua warga negara punya hak politik. Tapi, Azis bukan warga biasa.

Pertama, dia orang yang baru dipercaya kembali oleh warga Cirebon memimpin Koata Cirebon. Kedua, dia termasuk jajaran elit pengurus Partai Demokrat di Kota Cirebon.

Sebagai kepala daerah, sepatutnya dia berdiri di atas semua golongan. Sebagai elit partai, semestinya dia mengamankan kebijakan partai.

Tak setuju dengan keputusan partai? Nyatakan keberatan ketika proses penentuan arah itu terjadi. Gagal juga, keluar dari partai. Tak berani keluar partai, diam saja.

Tapi, Azis memilih menunjukkan sikap yang frontal. Dia umumkan dalam sebuah “pesta” perbedaan pilihannya itu. Tentu ada target tertentu yang hendak dia sasar. Wajar kalau partainya tertusuk.

Kita tetap pada sikap mengecam kepala daerah yang terlibat dalam pada kontestasi di luar wialayahnya. Politisi presiden cawe-cawe pilkada, atau gubernur ikut-ikutan kampanye pilbup-pilwalkot, atau sebaliknya. Itu melukai nalar dan etika politik.

Buat kita, siapapun yang terpilih dalam kontestasi demokrasi, bukan lagi petugas partai, melainkan pemimpin rakyat. Dalam posisi itu, dia tak patut mengumbar sikap politik kontestasinya di muka publik, apalagi secara terbuka menyatakan dukungan politiknya. Itu melanggar etika.

Januari 2019