Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Debat kandidat perdana Pemilihan Presiden 2019 berlangsung Kamis (17/1). Kecuali barisan pendukung, rasanya rakyat tak dapat apa-apa dari debat itu. Bagaimana mungkin akan menarik swng voters dari posisi golongan putih (golput)?

Bagaimana mau memikat kalau kedua kandidat gagal menghadirkan gagasan-gagasan yang bernas. Debat hanya mempersoalkan kulit-kulit persoalan republik ini dalam hal hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. Inti soal dan cara penanganannya lima tahun ke depan tak terungkap.

Bayangkan, bagaimana mungkin calon presiden –calon pemimpin ratusan juta warga republik ini—ngotot mempersoalkan berapa banyak perempuan yang jadi pengurus di partai tertentu. Apa urusan besarnya untuk republik ini? Tidaklah mengherankan jika debat justru lebih ramai di antara warganet. Banyak sindiran mereka terhadap debat. Salah satunya, mungkin debat perlu diikuti capres-cawapres khayalan: Dildo.

Masih banyak suara tak menentu yang belum menjatuhkan pilihannya pada Pilpres mendatang. Itulah yang hendak disasar Pilpres. Seorang pengamat menyebutkan kisarannya bisa 10-30%. Tapi, capres-wapres gagal memikat hati mereka.

Kita sepakat, kualitas debat capres kalah dibanding debat Pilgub DKI, seperti yang disampaikan Eep Saefulloh Fatah. Terasa betul bedanya. Di debat Pilgub DKI, begitu banyak gagasan besar muncul diperdebatkan. Di debat perdana Pilpres 2019? Nyaris tak ada.

Siapa yang salah? Tak perlu mencari kesalahan. Tapi, sudah pasti ada yang galau: KPU. Debat adalah salah satu cara mengurangi angka golput di setiap kontestasi demokrasi. Jika debat terus berlangsung seperti ini, empat kesempatan mendatang, bukan tak mungkin angka golput akan meningkat. Dan itu, salah satunya, adalah kegagalan KPU.

Jadi, dapat apa dari debat? (*)

Januari 2019