Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Mafia itu gerombolan. Dia tak bisa bekerja sendiri. Jaringannya ada di mana-mana. Jika praktik mafia pengaturan skor sepak bola menjalar ke Jawa Barat, itu hanya sebuah keniscayaan. Bisa menyentuh siapa saja. Bisa klub, pelatih, pemain, dan kebetulan di Tanah Pasundan yang tercokok adalah wasit.

Penangkapan terhadap Nurul Safarid, wasit asal Garut, adalah sebuah gambaran oknumoknum yang mencari kehidupan di sepak bola bukan hanya di PSSI. Dia bisa ada di manamana.

Bahkan di kawasan Tarogong Kidul yang jauh dari hiruk pikuk sepak bola. Kita tentu prihatin dengan peristiwa yang ikut menyeret dan mencoreng sebagian wajah sepak bola Jawa Barat itu. Tetapi, kita paham bahwa hal serupa ini bisa menyentuh ke wilayah mana saja.

Dia bergerak sepi di tengah hiruk pikuk pentas sepak bola yang lebih bergengsi. Di Jawa Barat, misalnya, dia bisa saja bergerak karena perhatian publik selama ini hanya tertuju pada Persib.

Kasus suap-menyuap di sepak bola kita memang cenderung terjadi di wilayah seperti ini, level bawahan. Sebab, itulah yang jarang terpantau oleh publik. Tentu, tanpa menafikan juga bahwa kasus serupa juga bisa terjadi di level tertinggi, Liga 1.

Itu sebabnya, di kepengurusan PSSI, bukan berarti posisi figur yang mengurus sepakbola amatir tak menarik minat. Sangat banyak yang mengincarnya karena sejatinya di sanalah lumbung kesempatan untuk mengatur segala rupa, mulai dari penunjukan wasit, penentuan jadwal, hingga mengatur siapa yang menang dalam pertandingan. Relatif aman karena tak banyak dapat perhatian.

Prihatin? Tentu saja kita prihatin dengan penangkapan wasit Nurul Safarid. Jawa Barat, daerah gudang pemain hebat, sumber klub berprestasi, tapi ternyata juga memiliki oknumoknum seperti wasit asal Garut itu.

Januari 2019