Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Jangankan angin puting beliung yang oleh orang awam akan sulit ditebak kapan datangnya, pada bencana yang bisa diperhitungkan karena risiko pun kita abai.

Padahal, negeri ini, Jawa Barat, termasuk paling tinggi potensi bencananya. Apakah mitigasi hanya sekadar pemanis bibir? Ekosistem kita makin lama makin rusak.

Keseimbangan antara kawasan penyangga dengan daerah di luarnya kian tak masuk akal.

Selain karena pertumbuhan penduduk yang membuat kita merambah kawasan penyangga, kita juga lalai karena nafsu yang besar.

Tak percaya? Tengok saja kawasan Bandung Utara dengan segala bangunan tanpa izinnya. Itu tanda-tanda kita memang kerap mengabaikan risiko hanya karena kepentingan satu-dua pihak dan mengabaikan kebanyakan pihak.

Jika di Bandung Utara saja yang masih dalam jangkau pandangan, bayangkanlah bagaimana potensi pengrusakan itu terjadi di daerah-daerah terluar. Di wilayah selatan Jawa Barat misalnya. Segala potensi bencana terbuka oleh ulah manusia, mulai pembangunan kawasan hunian hingga pertambangan.

Jadi, jelas buat kita, mitigasi bencana tidak hanya melulu urusan rakyat banyak, melainkan lebih vital lagi pada pemangku kepentingan, pengambil kebijakan, pemerintah. Mereka yang seharusnya tidak lalai memperhitungkan keselarasan lingkungan dalam setiap izin pembukaan kawasan.

Tapi, itu yang jarang terlihat oleh kita.

Dalam kasus proyek pembangunan Meikarta saja, kita tengok bagaimana oknum pemerintah justru bermain dalam meloloskan izin untuk merusak lingkungan. Pengurusan analisa mengenai dampak lingkungannya menjadi bancakan pejabat.

Banyak kasus lain yang menunjukkan bahwa mitigasi tak hanya harus dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, melainkan justru harus dilakukan terhadap pemerintah itu sendiri. Mereka mengambil peran atas lahirnya bencana-bencana akibat ulah manusia di Tanah Pasundan ini.

Januari 2019