Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Harusnya, begitu menjadi kepala daerah, politisi tidak lagi partisan. Bukankah dia pemimpin seluruh rakyatnya? Itu jika politisi dan partai politik betul-betul ikhlas untuk kemaslahatan bangsa, kebaikan masyarakat.

Faktanya tidak. Mereka bukan orang yang mencurahkan waktu dan pikiran sepenuhnya untuk masyarakat. Ada yang terbelit ikatan partai, ada yang ingin balas jasa. Akibatnya, mereka malah bikin gaduh kontestasi demokrasi.

Padahal, ingatlah kembali janji-janji manis mereka saat kampanye. Berjuang sepenuhnya untuk masyarakat. Sepenuhnya itu berarti 100%.

Bahkan, ada pula yang bombastis: mewakafkan kandidatnya untuk masyarakat. Kalau sudah diwakafkan, kok ditarik kembali untuk kepentingan partai politik. Wakaf tidak ikhlas?

Posisi kepala daerah memang vital. Dia tak hanya magnet bagi masyarakat, bahkan juga potensi “memaksakan” ASN yang ada di bawahnya untuk memilih calon tertentu.

Sikap dan tindak tanduk mereka mendukung salah satu pasangan calon saja sudah menunjukkan bagaimana “pemaksaan” itu terjadi.

Sialnya, regulasi memungkinan para kepala daerah itu menyatakan dukungannya terhadap pasangan calon, memberi izin buat mereka melakukan kampanye.

Regulasi memunculkan nuansa abu-abu. Mereka, misalnya, boleh berkampanye di hari libur. Yang libur itu sebenarnya kepala pemerintahan, bukan kepala daerah. Sebagai kepala daerah, masanya tak dibatasi waktu tertentu. Kasarnya 24 jam sehari.

Itu sebabnya, melalui forum ini, kita mendesak para pemangku kepentingan, mengatur hal ini lebih jernih. Mengubah regulasi. Menjadikan kepala daerah 100% milik rakyat, bukan lagi partai politik.

Agar tak ada lagi kepala daerah bermuka dua. Aturan yang tegas saja, dilarang terlibat politik praktis kepartaian. Bukankah partai politik dibentuk untuk kaderisasi kepemimpinan masyarakat dan bukan kepemimpinan partai politik?

Januari 2019