Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Lepas dari di mana dan apapun maksud penyampaiannya, pernyataan Said Aqil Siradj yang memicu kontroversi itu adalah “radikal”. Jika bukan karena pernyataannya, setidaknya pikirannya patut disebut sebagai “radikal”.

Menjadi aneh karena selama ini, SAS, begitu dia biasa disapa, mengaku-aku sebagai tokoh toleransi. Tokoh yang selama ini mengaku-aku sebagai pejuang toleransi, kok bisa memiliki pikiran radikal seperti itu. Tentu aneh.

Dalam konteks apapun, menafikan kelompok lain dalam negara pluralis seperti Indonesia, tidak patut dilakukan. Tak ada yang lebih hebat. Semua sama-sama hebatnya, sebagaimana juga sama-sama buruknya.

Wajar jika kemudian muncul kritik-kritik tajam terhadap pernyataan SAS pada perayaan Harlah Muslimat NU ke-73 di Gelora Bung Karno, Jakarta itu. Dari sisi keduniaan, tak ada yang berhak mengklaim kelompoknya paling benar. Dalam kehidupan ukhrawi, bukankah kebenaran itu hanya milik Sang Pencipta?

Pernyataan-pernyataan yang cenderung sombong seperti itu tak layak disampaikan, apalagi dengan tensi politik yang sedang tinggi di negeri ini. Pernyataan itu hanya bikin gaduh. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.

Menganggap diri sendiri sebagai yang terbaik adalah perkara tidak bijak. Apalagi, kalau faktanya kadang-kadang ada juga yang cacat pada tubuh kita. Sebab, di tengah bagusnya prestasi-prestasi menteri agama sepanjang sejarah republik ini, toh ada juga yang terjerat korupsi seperti Said Agil Husin Al Munawar dan Suryadharma Ali. Itu fakta tak terbantahkan.

Beruntung di republik ini, banyak pemuka agama yang lebih arif, santun, dan berbesar hati. Berpikir, berkata, dan bertindak lebih mengandalkan intelektualitas ketimbang berteriak-teriak menyalahkan pihak lain atau merasa diri paling benar. Memberi contoh dan teladan yang lebih patut ditiru dan digugu. (*)

masyarakat. Salah satunya di bidang keagamaan. Jika tidak dipegang oleh warga NU maka menurut Said Aqil akan salah semua.

"Imam masjid, khatib, KUA (kantor urusan agama), harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," kata Said.

Januari 2019