Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Hari hari ini, patut kita mengenang kembali Pak Harto. Bukan hanya karena ini 1 Oktober, melainkan juga mengingat situasi politik lokal kita.

Pada hari-hari seperti ini, lebih dari 21 tahun yang lalu, Pak Harto, presiden kedua RI, mengambil keputusan yang tegas, mengundurkan diri. Di Istana, di tengah tekanan aksi mahasiswa dan rakyat, dia menyampaikan pidatonya itu.

Situasi saat ini sedikit masih di bawah ujung akhir Orde Baru itu. Meski aksi unjuk rasa terjadi di mana-mana, tingkat tekanan yang dilakukan demonstran, kali ini dimotori mahasiswa dan pelajar, belum sekuat 21 tahun yang lalu.

Apakah Presiden Jokowi harus mengikuti jejak Pak Harto? Tentu tidak. Jokowi adalah presiden pilihan rakyat. Apapun, karena dia terpilih untuk periode kedua secara sah, maka pelantikan harus tetap dilakukan. Kami berpendapat, fakta tersebut tak boleh dilemahkan.

Yang –hemat kami—perlu dan harus dilakukan Jokowi adalah muncul di hadapan publik dengan memberikan pernyataan menyikapi kondisi yang terjadi. Memberikan public adress, meyakinkan publik dan masyarakat, bahwa ada langkah-langkah yang segera dilakukan untuk mengatasi persoalan yang ada, sebuah keputusan yang akan sejalan dengan keinginan masyarakat banyak.

Sayangnya, Jokowi agak tertatih-tatih soal itu. Pernyataan sikapnya sering terlambat, tak secepat Presiden membangun infrastruktur. Padahal, jaminan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat banyak itu yang ditunggu-tunggu.

Banyak soal yang dihadapi. Tapi respons presiden sering terlambat, atau setidaknya tak secepat yang diharapkan. Mulai dari tewasnya dua mahasiswa di Kendari hingga meninggalnya lebih 30 orang di Wamena.

Padahal, situasi yang dihadapi Jokowi saat ini, tidaklah seberat apa yang dialami Pak Harto di pengujung rezim Orde Baru. Menteri-menterinya masih kompak, partai koalisi pengusungnya sangat besar. Bandingkan dengan era akhir Pak Harto, ketika banyak menteri-menteri, tokoh yang selama ini dia besarkan, menolak bergabung dalam Komite Reformasi. Pak Harto, kala itu, nyaris tak punya kawan.

Secara politik, Jokowi tidak sendiri. Ketua-ketua partai politik, bos-bos para politisi di Senayan, adalah sahabatnya, rekan-rekan koalisinya. Tak perlu gentarlah Jokowi kalaupun keputusan yang dia ambil berseberangan dengan keinginan DPR.

Maka, melalui kolom kecil ini, kita imbau Presiden Jokowi untuk sering-sering keluar Istana, memberikan public adress yang menenangkan masyarakat, dalam hal ini mahasiswa atau pelajar. Kalau tidak, arus aksi unjuk rasa yang sudah merebak kemana-mana, bisa-bisa akan semakin besar dan kian tak terkendali. (*)

Oktober 2019