Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SOAL kemacetan lalu lintas, ada dua Gubernur DKI Jakarta yang kerap menjadi sasaran kecaman publik. Keduanya Sutiyoso dan Anies Baswedan. Tapi, keduanya sukses mengurai kemacetan, meski nama terakhir harus diuji lagi.

Salah satu ide Sutiyoso saat itu adalah menjalankan busway. Banyak sekali kecaman kala itu. Bagaimana mungkin jalanan yang macet, dipenggal lagi untuk jalur khusus bus.

Seperti Bang Yos, Anies Baswedan juga dikecam karena kebijakan ganjil-genap. Bedanya, kalau Bang Yos dikecam semata karena kebijakan, kalau Anies sebagian karena unsur politik. Banyak yang mulai gentar terhadap peluang politiknya. Toh, ganjil-genap Anies mulai membuahkan hasil.

Keduanya memberi pelajaran bagaimana menangani kemacetan di kota besar. Kota Bandung, ironisnya, kini tercatat sebagai kota paling macet di Indonesia. Mengalahkan Jakarta dan Surabaya.

Setidaknya ada tiga unsur bagaimana menangani persoalan lalu lintas, seperti yang ditunjukkan Bang Yos, Anies, dan juga Trismaharini, Wali Kota Surabaya. Sederhana: infrastruktur memadai, sistem transportasi yang jelas, dan “tangan besi”.

Busway adalah produk “tangan besi” Bang Yos.Dia belajar hingga Kolombia dan menerapkannya di Jakarta. Banyak yang mengecamnya. Dia jalan terus, tak peduli omongan orang banyak. Sebab, dia yakin sistem itu akan mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta.

Jakarta memang masih macet. Hanya sedikit lebih baik dari Bandung. Tapi, bayangkan bagaimana jadinya jika tak ada busway. Bisa-bisa jalanan Jakarta jadi stagnan, tak bergerak. Apalagi, jika sistem ganjil-genap tak jalan.

Kota Bandung perlu belajar dari Jakarta. Dari tiga hal itu, Kota Bandung masih sama lemahnya. Infrastruktur belum terbangun, belum terancang untuk masa depan lalu lintas kota besar. Fasilitas transportasi umum juga masih kurang.

Tak kalah pentingnya, adalah perubahan kultur bertransportasi yang masih lemah di Kota Bandung. Tengok saja, hampir setiap hari bus Trans Metro Bandung kosong melompong. Sebab, warganya lebih suka pakai kendaraan pribadi. Padahal, di Jakarta warganya sangat antusias menggunakan angkutan umum, bahkan berjubel di Trans Jakarta.

Untuk mengubah kultur itu, perlu sistem “tangan besi”. Termasuk kemungkinan membuka peluang ganjil genap, three in one, dan sebagainya. Harus dilakukan dengan cara keras karena itulah yang akan bisa menyelamatkan Kota Bandung dari lalu lintas yang stagnan tak bergerak.

Tapi, tentu, sebelum itu, infrastruktur dan fasilitasnya siap dulu. Sayangnya, yang ini pun Kota Bandung belum siap. Butuh waktu lama bagi Kota Kembang untuk menuntaskan persoalan kemacetan. (*)

Oktober 2019