Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

DALAM kehidupan bernegara, presiden harusnya berada pada garda terdepan sebagai pemberi teladan. Tapi, keputusan memasang banyak wakil menteri adalah teladan buruk.

Kenapa seperti itu? Pertama, presiden sendiri pada pidato pelantikannya menyampaikan keinginan memangkas eselonisasi. Kalau perlu, cukup dua eselon saja, bukan empat.

Sejumlah kepala daerah, entah paham atau tidak, ramai-ramai mendukung pidato itu. Membebek. Hanya beberapa yang mencoba “melawan”. Salah satunya, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. Menurutnya, eselon adalah bentuk pembinaan dan jenjang karier terhadap aparatur sipil negara.

Apa salahnya eselonisasi? Tak ada jika pemerintahan bisa diatur berjalan seefektif mungkin. Maka, pemangkasan eselonisasi itu, sejatinya, bisa pula dianggap sebagai obat yang tidak tepat terhadap efektivitas pemerintahan yang tak jalan.

Dalam konteks pemerintahan yang ramping dan efektif tanpa banyak pejabat struktural seperti yang diinginkan Jokowi, Presiden justru memasang 12 wakil menteri. Tentu, ini bisa dinilai sebagai antitesa dari pidato tersebut.

Publik mempersoalkan apakah kementerian tertentu butuh wakil menteri? Apa sih pentingnya Menteri Agama punya wakil? Apa pentingnya Menteri Agraria punya wakil? Atau, apa iya kita butuh wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan? Wakil Menteri Pertahanan? Wakil Menteri Perdagangan? Terlebih, kemudian terlihat pula pemilihan wakil menteri juga setara sebangun dengan penyusunan menteri: akomodatif terhadap pihak-pihak pendukung presiden pada Pemilihan Presiden lalu, kompromistis terhadap asal-usul kedaerahan para wakil menteri.

Memang, Jokowi bukan presiden pertama yang memasang banyak wakil menteri. Susilo Bambang Yudhoyono, pada periode keduanya, menempatkan lebih banyak wakil menteri. Tapi, sikap kita sama: secara umum tak layak dilakukan, apalagi di tengah-tengah keinginan meringkas birokrasi, apalagi kalau ini dilakukan hanya untuk akomodatif dan kompromistis itu tadi.

Jokowi sudah meminta pemerintahan yang efektif dan efisien. Langkahnya menempatkan banyak wakil menteri ini, hemat kita, tak sejalan dengan cita-cita tersebut. Terutama, karena di kementerian-kementerian tersebut terdapat pejabat-pejabat hebat yang seharusnya bisa membantu para menteri; bukan wakil menteri. (*)

Oktober 2019