Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

KURANG dari seminggu, dua petinggi perusahaan pelat merah yang berbasis di Jawa Barat menjadi berita dari KPK. Mereka, patut diduga, tak mampu merevolusi mentalnya, meski satu di antaranya pernah meraih penghargaan Revolusi Mental.

Keduanya yakni Djoko Saputro yang bermasalah ketika memimpin Perum Jasa Tirta II, sebuah perusahaan milik negara yang berbasis di Purwakarta. Dia, 30 September lalu, ditahan KPK, setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi yang merugikan keuangan negara Rp3,6 miliar.

Lalu, kemarin, giliran Darman Mappangara yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Direktur PT INTI itu diduga terlibat dalam kasus korupsi antar-BUMN yang antara lain melibatkan petinggi PT Angkasa Pura II.

Kasus-kasus ini, terutama yang dialami Djoko, membuat kita yakin, bahwa revolusi mental yang menjadi jargon pemerintahan Jokowi pada periode pertama, masih jauh panggang dari api. Terlebih, yang melakukan perlawanan terhadap revolusi mental itu adalah orang yang dia percaya memimpin perusahaan negara.

Tentu saja, ditetapkannya Djoko Saputro sebagai tersangka dan kemudian ditahan, adalah pukulan telak terhadap semangat revolusi mental itu. Apalagi, lembaga yang patut kita duga dekat dengan pemerintah, yakni Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dan BUMN Track pernah menyerahkan penghargaan Revolusi Mental untuknya.

Tak hanya di kalangan pejabat perusahaan pelat merah, revolusi mental juga belum mangkus untuk memberantas korupsi di era Jokowi. Tidak hanya ada dua menteri Jokowi yang kini berstatus tersangka, tapi petinggi dua lembaga terhormat lainnya, yakni Setya Novanto (saat itu Ketua DPR) dan Irman Gusman (Ketua DPD) terjerat kasus korupsi.

Dalam kaitan itu, publik pantas bercuriga atas pandangan revisi UU KPK yang sudah disahkan. Mereka berpandangan revisi itu, pada banyak titik, melemahkan fungsi KPK. Jangan-jangan, memang ada persekongkolan untuk memangkas tajamnya pisau KPK “memancung” pelaku tindak pidana korupsi.

Dengan banyak kenyataan yang kita dapatkan, belumlah saatnya mempreteli lembaga KPK karena korupsi ternyata masih marak di negara ini. Pecegahan perlu, tapi kita berpandangan penindakan jauh lebih perlu. Bagaimana kita mau mencegah jika dengan maraknya penangkapan pelaku korupsi di negeri ini saja, tak mengurangi keinginan pejabat negara untuk menilap uang rakyatnya.

Masih perlukah revolusi mental? Masih, tapi revolusi mental yang sungguh-sungguh. Itu hanya bisa kita yakini masih bisa jalan jika presiden tidak terperangkap upaya-upaya melemahkan penindakan hukum pelaku korupsi. (*)

Oktober 2019