Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

KADANG-KADANG, kita berteriak NKRI harga mati, tapi pada saat bersamaan kita meluluhlantakkan simbol-simbolnya. Salah satu simbol itu adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan.

Banyak masyarakat sekarang menilai Bahasa Indonesia sekadar sebagai alat komunikasi. Bukan kebanggaan. Bukan bahasa persatuan. Ironisnya, mereka sebagian besar kalangan terdidik. Tengoklah pertemuan atau perbincangan mereka, seolah malu berbahasa Indonesia.

Gejala itu menurun kepada generasi-generasi milenial saat ini. Jika berbicara, bahasanya campur aduk. Bisa jadi, karena kemampuan berbahasa asing adalah salah satu nilai tambah keberhasilan. Banyak yang lebih percaya diri mengeluarkan istilah-istilah asing yang sebenarnya bisa dibahasaindonesiakan.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus kita pertahankan. Dia tak hanya alat komunikasi, tapi juga kebanggaan, alat perekat bangsa.

Itu sebabnya, kita mendukung Peraturan Presiden Nomor 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, yang baru saja ditandatangani Presiden Joko Widodo. Aturan ini lebih konkret dan luas ketimbang Perpres Noor 16 Tahun 2010.

Salah satunya adalah soal penamaan geografi, bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Kita ketahui, kebanyakan di antaranya sekarang menggunakan bahasa asing, bukan lagi Bahasa Indonesia. Rasa-rasanya, dengan kondisi semacam itu, kita entah berada di mana.

Hal-hal semacam ini, sejatinya, pernah dilakukan era pemerintahan Soeharto. Ketika itu, misalnya, gedung bioskop harus mencabut kata theatre, gedung menggantikan building, dan sebagainya. Tapi, proses reformasi seolah-olah menjadikan produk Orde Baru sebagai kebijakan yang semuanya gagal.

Kita tidak menafikan pergaulan internasional, menggunakan bahasa atau istilah asing. Tapi, bukan berarti pula “menggadaikan” identitas nasional kita. Salah satu identitas itu adalah Bahasa Indonesia.

Katanya cinta NKRI, ya harus cinta Bahasa Indonesia juga. (*)

Oktober 2019