Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

Jika kita berbicara tentang lembaga pemasyarakatan dengan pemerintah, maka seolah satu-satunya persoalan adalah kapasitas berlebihan. Padahal, itu bukan soal utama. Permasalahan utama adalah mentalitas pengelola lapas.

Kapasitas berlebihan hanya memunculkan kurangnya kenyamanan warga binaan. Jika nilai-nilai kemanusiaan berkembang kuat, maka kelebihan kapasitas itu bukanlah persoalan paling penting dalam pengelolaan lapas.

Buat kita, persoalan terpenting dalam manajemen lapas adalah soal mentalitas petugas. Banyak masalah muncul karena bobroknya sikap dan kelakuan para oknum pengelola lembaga pemasyarakatan.

Namanya warga binaan, harusnya para penghuni mendapatkan pembinaan. Tapi, sebagian oknum pengelola lapas masih bersikap sebagai sipir penjara. Orang yang berkuasa penuh terhadap warga binaan. Arogansi mencuat, memunculkan sikap petentang-petenteng.

Salah satu penyebab rusaknya lapas adalah karena sikap seperti itu. Ada kekuasaan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan personal. Terantuknya sejumlah oknum petugas lapas, dalam kasus peredaran narkoba di lapas, salah satunya karena itu.

Jika masih juga ragu, maka tengoklah Lapas Sukamiskin, sebuah lembaga pemasyarakatan yang sebagian isinya narapidana kasus korupsi. Publik menduga, kasus yang menimpa Kalapas (saat itu) Wahid Husein adalah kasus terakhir. Tapi, ternyata tidak.

Kini, bahkan bukan hanya Wahid Husein, pendahulunya pun jadi tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi. Tak ada makan siang gratis, kata orang. Juga, tak ada pemberian gratis, terutama antara penguasa dan yang dikuasai. Maka, gratifikasi-gratifikasi itu adalah uang atau barang yang secara salah diterima oknum Kalapas Sukamiskin dengan pampasan fasilitas bagi warga binaan.

Itu baru yang tercium dan terungkap oleh KPK. Apakah cuma itu? Kita meyakini tidak. Bisa jadi, sebelum itu, gratifikasi-gratifikasi yang ditukar dengan fasilitas bagi napi sudah jadi hal yang kerap terjadi.

Meski baru sebatas isu, kita meyakini bahwa misalnya napi-napi yang meninggalkan lapas di malam hari, pernah terjadi. Harga yang harus dibayar napi untuk itu demikianlah tinggi. Itu takkan terjadi jika mentalitas aparatur lapas kuat, tak tergoda oleh fulus gratifikasi.

Maka, seberapa banyak pun lapas didirikan, betapa longgar pun tingkat keterhuniannya, jika saja mentalitas aparatur tak bisa ditertibkan pemerintah, pengelolaan lapas yang baik itu hanyalah mimpi-mimpi yang takkan kunjung tercapai. (*)

Oktober 2019